Thursday, July 28, 2011

Terhubung ke Langit

~ditujukan khusus untuk Adik Mahfuzah..moga Allah menguatkan hatimu..
juga pada Ilyani, terima kasih kerana 'rasa' ini...~


berdirimu di waktu malam,
sujudmu yang dalam
mengukuhkan hatimu melebihi gunung membiru
lalu kau terima beban sebagai mencintai semesta;
membagi senyum ketika kau terluka,
memberi minum ketika kau dahaga,
menghibur jiwa-jiwa ketika kau berduka



Seharusnya dia beroleh istirehat di malam hari. Siang demi siang terasa panjang, melelahkan, dan menyesakkan dada. Ke sana kemari dia susuri Makkah dari hujung lain ke hujung satu, berbisik dan berseru. Dia ajak orang satu demi satu, kabilah suku demi suku, untuk mengimani risalah yang diamanahkan kepadanya.


Dia kadang terlihat di puncak Safa, membacakan ayat-ayat yang dibals caci maki dan hinaan yang menjijikkan dari bapa saudaranya sendiri. Dia kadang harus pergi, meninggalkan satu kaum dengan dilempari batu dan kotoran sambil diteriaki gila, dukun, penyihir, dan penyair hingusan. Dia kadang sujud di depan Kaabah, lalu seseorang akan menuangkan setimba isi perut unta ke kepalanya, atau menjeratkan selendang ke leher di saat ruku’nya. Dia kadang harus menangis dan menggumamkan ketidakberdayaan melihat sahabat-sahabatnya yang lemah dan diseksa di depan matanya. Kejam dan keji.


Dia sangat lelah. Jiwa mahupun raga. Dia sangat payah. Zahir mahupun batin. Tenaganya terkuras. Luar mahupun dalam. Seharusnya dia beroleh istirehat di malam hari, meski gulana tetap menghantuinya. Tetapi saat Khadijah membentangkan selimut untuknya dan dia mulai terlelap dalam hangat, sebuah panggilan langit justeru memaksanya terjaga.

“Hai orang yang berselimut. Bangunlah di malam hari kecuali sedikit. Separuhnya atau kurangilah yang separuh itu sedikit. Atau tambahlah atasnya, dan bacalah Quran dengan tartil” (Al-Muzammil: 1-4)

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (Al-Muzammil: 5)


Seberat apa?

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu melihatnya tunduk terpecah berantakan disebabkan takut kepada Allah” (Al-Hasyr: 21)


Itu kalimat yang berat. Itu beban yang berat. Beban yang gunung-gunung tak sanggup menanggung. Beban yang dihindari oleh langit dan bumi. Dan Muhammad harus menerimanya. Dia harus menanggungnya. Maka hatinya harus lebih kukuh dari gunung. Maka jiwanya harus lebih perkasa daripada bumi. Maka dadanya harus lebih lapang daripada lautan. Kerana itu dia harus bangun di waktu malam untuk menghubungkan diri dengan sumber kekuatan diri dengan sumber kekuatan yang Maha Perkasa.

Maka Sang Nabi pun bangkit. Dia solat.

“Solat” kata Sayyid Qutb dalam Tafsir Zilal, “Adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setitis air yang terputus dengan sumber yang tak pernah kering. Ia adalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realiti bumi yang kecil menuju realiti alam raya. Ia adalah angin,embun, dan awan di siang hari panas nan terik. Ia adalah sentuhan yang lembut pada hati yang letih dan payah.”


Maka Sang Nabi pun bangkit. Dia solat.


Solat itu kewajiban baginya. Solat itu menjaganya dari kemungkaran dan kekejian. Dia ruku’. Maha Agunglah Allah dan dia memuji Ilahi. Lalu Allah mendengarkan orang yang memujiNya, dan menjawab derap-derap permohonannya yang menggelora. Dia sujud. Maha Tinggilah Allah. Dan, dia merasakan betapa dekatnya, betapa mesranya, betapa asyiknya bicara pada Rabbnya dalam hening, mengadu, berkeluh, berkisah tentang segalanya. Tentang beratnya tugas, tentang lemahnya daya dan kekuatannya.


Lalu dia memohon kekuatan agar mampu mengemban amanahnya itu. “Ya Raabi” lirihnya, “KepadaMu kuadukan lemahnya dayaku, kurangnya tenagaku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Penyayang di antara para penyayang, Engkaulah Rabb pada orang-orang yang lemah. Engkaulah Rabbku…Aku berlindung dengan cahaya wajahMu yang menyinari segala kegelapan dan yang kerananya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tak menurunkan murkaMu kepadaku..tiada daya dan kekuatan kecuali dariMu.


Maka Allah menjawabnya, mencurahkan rahmat kepadanya sebagai cinta dari langit untuk ditebarkan di bumi.


“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah=lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar lagi keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (Ali-Imran: 159)


Dalam dekapan ukhuwah, kita rindu mewarisi keteguhan Sang Nabi. Dalam dekapan ukhuwah, kita rindu dicurahi rahmatNya hingga mampu berlemah-lembut pada sesama. Dalam dekapan ukhuwah, kita bercita-cita dipuji Allah seperti Sang Nabi, “Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.”


Orang-orang yang terhubung ke langit, adalah orang-orang yang menanggung beban untuk membawa manusia ke jalan cahaya. Mereka menjadi manusia-manusia dengan ketahanan menakjubkan menghadapi kebengalan sesama titah. Mereka menjadi orang-orang yang paling teguh hati, paling lapang dada, paling sabar, paling lembut, paling santun, paling ramah, dan paling ringan tangan. Keterhubungan dengan langit itu mempertahankan mereka di garis edar kebajikan, bahawa mereka wakil sah dari kebenaran.


Dalam dekapan ukhuwah, Allah jadikan mereka sebagai teladan bagi kita. Kisahnya diulang-ulang untuk menguatkan hati.


Sejarah terhubungnya langit dan bumi membentang panjang. Mulai dari Nuh yang tak jemu-jemu menyeru kaumnya selama lima ratus tahun. Dengan segala cara. Sembunyi-sembunyi mahupun terang-terangan. Seorangan mahupun ramai. Peribadi ke peribadi mahupun secara berkumpulan.


Lalu Ibrahim yang menebas keberhalaan dengan kapak kecerdasan. Ibrahim yang membungkan raja pengaku tuhan dengan hujjah tak terbantah. Ibrahim yang menginsafkan para penyembah bintang, rembulan, dan matahari dengan bahasa lembut menghanyutkan.

Lalu Musa dengan liku-liku perjalanan hidupnya.

Lalu Isa dengan pernik-pernik kisahnya

Lalu…Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa Sallam


Salah satu mata rantai dari para pengibar Tauhid di pentas sejarah itu adalah Yunus, ‘alaihis salaam. Dan kisahnya mengajarkan pada kita, bahawa dalam dekapan ukhuwah, Allah begitu mencintai orang-orang yang terhubung ke langit ini, hingga tak membiarkan mereka sedikit pun terlepas dari pelajaran untuk memiliki akhlak dan perilaku mulia. Dalam dekapan ukhuwah, Allah ingin tiap manusia yang terhubung ke langit menuntaskan tugasnya hingga sempurna kerana bersamaan dengan itu disempurnakan pula didikan Rabbani pada karekter peribadinya. Jika dia meninggalkannya sebelum tuntas, Allah akan gunakan cara lain untuk mendidikkan kemuliaan padanya.


Yunus mungkin tercatat sebagai orang yang gagal. Dia meninggalkan kaumnya dengan marah, sesak hati dan sempit dada sebelum Allah mengizinkannya. Dia pergi. Dan kita sudah hafal kisah selanjutnya; dia naik kapal, dibuang ke laut, dan ditelan ikan Nun.


Allah ingin mendidik Yunus untuk sabar menghadapi manusia dan teguh membaw mereka ke jalan taqwa. Allah ingin mendidiknya agar tak mudah menyerah dan mengerahkan beberapa tingkat lagi daya upaya. Tapi Yunus dibakar perasaan. Dia tinggalkan kaumnya. Maka Allah menyempurnakan pendidikan langit untuknya agar bersabar dengan sebuah musibah. Ditelan ikan. Hidup dalam kegelapan. Saat itulah dia insaf kembali dengan doa yang kita kenang hingga kini, “Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang yang membuat aniaya.”


Ketika pendidikan langit untuk bersabar dia tuntaskan, dia kembali kepada kaumnya dengan semangat yang menyala. Dia datang untuk menyeru mereka ke jalan cahaya dengan keteguhan yang telah dia siapkan berlipat jumlahnya. Tapi Allah telah menyempurnakan pendidikannya, maka baginya hadiah yang membahagiakan. Saat dia kembali semua kaumnya telah beriman. Dan kini, tugasnya tinggal memimpin dan membimbing mereka mengabdi pada Allah, dalam dekapan ukhuwah.


Demikianlah. Mereka yang terhubung ke langit, terhubung dengan manusia dalam kata cinta yang berwujud dakwah. “Dakwah adalah cinta,” kata Syaikhut Tarbiyah Rahmat Abdullah. Dan dalam dekapan ukhuwah, cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai fikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang ummah yang kau cintai.